
Berbagai tradisi bulan Ramadan selalu membuat rindu akan kehadirannya, termasuk aneka dagangan serta suasana tarawih berjamaah bersama sanak saudara. Hal itu sangat berbeda ketika berada di luar negeri. Setidaknya itulah yang terjadi di Negeri Sakura Jepang, sebagai negara yang termasuk mempunyai populasi muslim lebih sedikit di banding negara lainnya.
Potret bulan suci Ramadan di negeri ini tak ubahnya seperti menjalani rutinitas keseharian seperti biasanya. Tidak ada adzan yang bergema, di samping populasi Muslim yang lebih sedikit dibanding agama lainnya seperti Shinto dan Budha, pemerintahan yang ada pun tidak pernah mencampuri urusan beribadah umatnya.
Hal ini bisa kita lihat dalam tiap pendirian atau perawatan candi dan kuil sebagai tempat yang paling sering kita temui di Jepang. Tidak ada subsidi pemerintah akan pembangunan dan perawatan tempat-tempat ibadah tersebut. Bahkan, di Kyoto, sebuah daerah yang pernah menjadi ibu kota Jepang setelah Nara, tidak ada bangunan masjid permanen yang bisa kita temui.
Saat ini, umat Muslim di Kyoto beribadah di suatu bangunan masjid non-permanen yang berukuran kecil dan tidak bisa menampung umat Muslim yang kian meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Terlebih untuk menunaikkan ibadah salat Idul Fitri.
Masjid non-permanen yang dekat dengan Kyoto University ini kerap kali digunakan untuk salat Jumat dan tarawih ketika bulan Ramadan. Sedangkan untuk salat Idul Fitri, umat Muslim yang ada di Kyoto masih harus menyewa tempat yang lebih besar lagi, karena sudah tentu kapasitasnya tidak mencukupi. Pembangunan masjid permanen di jantung kota Kyoto pun sedang direncanakan untuk secepat mungkin dilaksanakan.
Kondisi bulan Ramadan di Kyoto, Jepang memang terasa sangat berbeda jika dibandingkan dengan Tanah Air. Karena belum adanya tempat yang permanen untuk beribadah, maka jamaah yang datang ke masjid berukuran kecil yang dekat dengan Universitas Kyoto ini juga sangat sedikit. Ini disebabkan karena letak rumah antar Muslim yang berjauhan dengan lokasi tempat ibadah, sehingga banyak orang lebih memilih untuk berjamaah di rumah dengan keluarganya.
Bahkan, tidak tampak satu pun jamaah perempuan yang datang ke masjid non-permanen yang terletak di dalam bangunan Asosiasi Muslim di Kyoto pada hari kedua di bulan Ramadan. Kondisi ini tampak sangat kontras jika dibanding suasana jamaah di masjid Indonesia pada minggu-minggu pertama di bulan Ramadan, yang kerapkali diwarnai oleh penuhnya kaum Muslim yang hadir untuk salat tarawih.
Selain masjid, dari segi makanan yang khas untuk berbuka puasa pun sungguh jauh berbeda. Sehingga, kita harus menahan keinginan atau kerinduan kita untuk bisa berbuka dengan kolak ataupun es buah di negeri ini. Berbagai restoran dan tempat makan di negeri ini pun tetap dibuka secara umum selama bulan Ramadan, tidak ada yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya.
Bulan Ramadan di Negeri Sakura juga mempunyai waktu berbuka puasa yang lebih panjang di banding Tanah Air. Di Jepang, kita baru berbuka pada pukul 19.00 waktu setempat, yang mana satu jam lebih lama dibandingkan Indonesia. Jika di Indonesia kita bisa mendengarkan suara adzan sebagai pertanda berbuka, maka di Jepang kita cukup berpatokan pada tenggelamnya matahari dan waktu salat juga berbuka yang telah di sepakati oleh Dewan Muslim di sana.
Di Indonesia, kita dengan mudahnya bisa menemukan dagangan khas berbuka di pinggiran jalan. Namun, jangan harap di Jepang kita bisa menemukan kondisi serupa. Semuanya serba berbeda dan tampak seperti hari biasa di luar bulan suci. Tidak ada suara merdu khas Qori atau Qoriah yang melantunkan ayat al-Qur'an nan menentramkan hati.
Meski demikian, ada juga berbagai pengalaman lainnya yang tidak bisa kita temukan ketika menjalankan Ibadah di Tanah Air. Salah satunya adalah bertemu dengan umat Muslim dan Muslimat dari berbagai penjuru dunia. Hari pertama, kedua dan ketiga Bulan Ramadan di Kota Kyoto, masjid non-permanen ini didominasi oleh warga Mesir yang sedang melanjutkan studinya di Universitas Kyoto. selain warga Mesir, ada juga yang berasal dari China, Indonesia dan Bahrain.
Meski jamaah di hari pertama bulan suci hanya berjumlah 25 orang dan menjadi 15 orang di hari kedua, namun tidak begitu saja menghilangkan kekhusyukan dalam beribadah. Salat tarawih di Jepang dilaksanakan mulai pukul 20.50, yang mempunyai selisih dengan Indonesia hampir dua jam. Berinteraksi dan bercerita akan pengalaman spiritual dengan kaum Muslim dari negara lain amatlah mengasyikkan. Setelah salat tarawih berjamaah selesai, beberapa menit pun digunakan untuk mengadakan halaqoh atau perkumpulan antar jamaah dalam mengkaji ayat suci al-Qur'an.
Setelah kajian selesai, maka para jamaah pun biasanya langsung pulang ke apartemen atau asramanya masing-masing. Tentu saja suasana ini berbeda dengan di Tanah Air, di mana banyak kaum Muslim setelah selesai melaksanakan salat tarawih berjamaah masih dapat mencari makanan khas bulan Ramadan atau lauk-pauk yang siap saji untuk persiapan sahur hingga menjelang pukul 24.00. Sementara di Kyoto, Jepang, suasana jalan pada dini hari, sudah sangat sepi.
Ada salah satu fenomena alam yang tampak begitu mengagumkan dan membuat tidak hentinya mulut ini mengucap tasbih pada Allah. Saat ini, Jepang sedang mengalami musim panas yang begitu terik. Ketika penulis mengunjungi Jepang di akhir bulan Juli, suasana yang sangat panas dengan terik matahari, dapat kita temui sepanjang waktu hingga masuk bulan Agustus. Namun, begitu hari pertama bulan Ramadan kita kecap, suasana terik tanpa hujan seakan sirna setelah hujan nan sejuk diturunkan oleh sang Maha Pencipta. Subhanallah.
Meski kondisi melakukan ibadah puasa di Jepang sangat berbeda dengan di tanah air, namun semangat untuk melaksanakan salah satu rukun Islam ini tidak pernah surut. Ada kebanggaan tersendiri manakala kita masih bisa melaksanakan ibadah nan suci ini dan menjaga kadar iman kita, di saat warga lainnya yang mayoritas beragama Shinto atau Budha tetap menikmati sajian sarapan pagi, makan siang dan dengan asyiknya menikmati minum di kala siang.
Semarak dan kekhusyukan Ramadan tidak pernah berhenti dimakan oleh tempat atau waktu. Semoga semangat Ramadan akan tetap menyala di hati kita, dan membawa seluruh umat muslim pada kebahagiaan sejati, di mana pun kita berada.
*Ana Sabhana Azmy adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI yang berkesempatan untuk berkeliling dan tinggal di Jepang selama tiga minggu serta berpuasa di Negeri Sakura.
-depan.jpg)
-dalam.jpg)

-dalam.jpg)












